Skip to main content

Mencengangkan!! Sejarah Indonesia Tahun 1965 Yang Terlupakan

 Wertheim yang diterbitkan sebagai embel-embel pada majalah ARAH MENCENGANGKAN!! Sejarah Indonesia Tahun 1965 Yang Terlupakan

Ini ialah Makalah Prof. Wertheim yang diterbitkan sebagai embel-embel pada majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23September 1990 di Amsterdam. berikut artikelnya:

Para hadirin yang terhormat!

Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa perihal kejadian 1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, usang kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective story yang cari pemecahan suatu teka-teki.

Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan perihal kunjungannya ke RRC, gres itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kau akan mundur ke tempat pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokoh terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya engingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada ketika itu menyerupai sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada ancaman besar bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan simpanse s supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa ketika bagi militer untuk sanggup rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu berpengaruh baik dalam tubuh perwira maupun dalam tubuh bawahan tentara dan angkatan militer yang lain.

 Wertheim yang diterbitkan sebagai embel-embel pada majalah ARAH MENCENGANGKAN!! Sejarah Indonesia Tahun 1965 Yang Terlupakan
D.N. Aidit
Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio perihal deretan Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, berdasarkan saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!"

Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai andal politik perihal Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang bekerjsama situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa sanggup mengerti keadaan! Sangat menyerupai kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' perihal kejadian September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah kejadian itu benar suatu kup komunis, menyerupai dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat.

Yang terima laporan itu, boleh menggunakan bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh alasannya mereka masih mencari materi tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan mempergunakan materi dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, bila dibanding dengan bencana lain di dunia, yang kadang- kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang bersalah, apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir ku p 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?

Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa- kejadian dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti perihal golongan PKI bersalah dalam kejadian itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi jenderal mustahil mempunyai kegunaan untuk PKI - jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul setelah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada kejadian di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga bekerjsama ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih ialah kiri, akan tetapi jurusannya ialah kanan". Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde" mengumumkan wawancara dengan saya.

Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam kejadian 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, contohnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang terkemuka.

Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa ahad setelah wawancaranya itu ada informasi dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya bekerjsama Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya sanggup Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada kisah perihal cara Sjam itu ditangkap. Dan judul informasi itu: "Apakah Sjam double agent?"

Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang sejati, yang bersahabat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang memberi semua perintah dalam kejadian 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di Halim, dan yang bekerjsama berdasarkan Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi. Tentu Aidit tidak sanggup membela diri dan membantah segala bohong dari Sjam, oleh alasannya ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, menyerupai Njoto dan Lukman, tidak sanggup membela diri di pengadilan.

Tentulah segala sanksi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak menerima kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bab perihal hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 ialah satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya menyampaikan begitu: "Aneh sekali: bila semua itu akan terjadi di suatu kisah detektif, segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah punya informasi. Misalnya setahun sebelum kejadian 65, Soeharto turut menghadiri ijab kabul Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama dalam komplotan.

 Wertheim yang diterbitkan sebagai embel-embel pada majalah ARAH MENCENGANGKAN!! Sejarah Indonesia Tahun 1965 Yang Terlupakan
Suharto
Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa bila Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story" .

Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, perihal suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, sanggup celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit.

Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga bila diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief tiba ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu at as keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief ialah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini menjadi terperinci bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenar-nya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia sanggup memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit hingga menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah". Begitulah kutipan dari buku Brackman perihal wawancaranya dengan Soeharto. Untuk saya pengukuhan ini dari Soeharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum agresi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' - the missing link dalam detective story. Hal ini dengan terperinci menunjukan kekerabatan Soeharto dengan tokoh utama dalam kejadian tahun 1965.

Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto perihal planning mereka ¡V tetapi sukar menunjukan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa Soeharto mencerita-kan pada Brackman perihal pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh alasannya itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami: Latief mau periksa apakah Soeharto begitu susah oleh alasannya keadaan sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya! Pengakuan Soeharto itu menjadi untuk saya kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht van de staatsgreep? " (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada malam kup?).

Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam kejadian tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto tiba ke Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal of Contemporary Asia" tahun 1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The Missing Link". Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu: "Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari persekutuan kup itu, tiba ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak elaksanakan rencananya alasannya tidak berani melakukannya di tempat umum."

Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief ada planning untuk membunuh Soeharto, 4 jam sebelum agresi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat seluruh persekutuan akan gagal! Kebohongan Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari logika untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan Mayor Sudjono sudah usang terkena sanksi mati dan diekseskusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili.

Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' an tidak sanggup menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara menyampaikan bahwa ia sudah usang sanggup menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa. Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam kasus Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia besama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang gres pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari agresi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding.

Mereka tetapkan untuk malam itu juga menemui Soeharto, untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh alasannya ia yang paling bersahabat dengan Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting. Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda, tahun 1949. Malahan, berdasarkan keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang bekerjsama masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Soeharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar.

Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh planning untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, alasannya kesaksiannya tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi lebih terperinci lagi perihal pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan: "Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan tidak pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers Indonesia segala keterangannya perihal pertemuan dengan Soeharto itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan.

Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya terperinci bahwa keterangan yang lebih tepat lagi disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya lantas diumumkan bila Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya takut bila kebenaran perihal pertemuan dengan Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi percaya? Juga asing sekali bahwa Soeharto ,menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan terus mencoba memperlihatkan tanda berwaspada kepada jenderal-jenderal kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, m elainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya hukumannya dikurangi.

Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana. Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto terlibat dalam kejadian 65 dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap planning kup dan yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto pada malam itu seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution. Artinya bahwa Soeharto jauh lebih terperinci 'terlibat' dalam kejadian 1 Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi menyerupai di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak langsung' dalam kejadian G30S!

Jadi, kini telah terperinci bahwa Soeharto terlibat oleh alasannya mempunyai pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan tugas penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V Jakarta.

Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu. Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu.

Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggungjawaban mereka. Sesudah ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh agresi itu berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut pertanggungjawaban mereka. Juga tidak terperinci mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim.

Rupanya pada ketika itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu peranan Aidit setelah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; berdasarkan segala kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan- negosiasi dan pertemuan-pertemuan , lagi pula tidak bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh alasannya ia dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat, terjadi atas perintah Aidit.

Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief, melainkan DIA yang memberi perintah untuk m embunuhi jenderal- jenderal yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya ¡V tetapi ia tambah seolah- olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Makara seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan mengapa Latief TIDAK sanggup sanksi mati, ialah oleh alasannya ia mungkir bahwa dia yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri yang memerintahkannya. Tetapi segala 'jasanya' kepada grup Soeharto tidak mempunyai kegunaan untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dihukum bersama pembantunya Pono dan Bono.

Agak terperinci bahwa pada malam 30 September, dua-duanya, Soekarno dan Aidit yakin bahwa Dewan Jenderal bekerjsama ada dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan bahwa ia masih yakin perihal eksistensi Dewan Jenderal itu dan planning mereka.

Soeharto Dalang G30S?
Dalam tahun 1970 saya juga masih beropini bahwa Dewan Jenderal itu benar ADA. Begitu juga pendapat PKI, contohnya dalam otokritik mereka. Tetapi usang kelamaan saya mulai sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu, kalu kejadian 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu asing bila orang mengorbankan diri sendiri dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada Soekarno.

Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan perihal suatu pita yang ia dengar, dan catatan perihal isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung Front Nasional perihal Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang, yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan planning Dewan Jenderal. Di tape itu sanggup didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar bunyi dari Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi . Parman menyebut, berdasarkan pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya Jenderal Sukendro.

Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai materi bukti pada sidang
Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September gres tiba di Jakarta dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memperlihatkan dokumen itu pada Presiden Soekarno; dan berdasarkan Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan KOTRAR.

Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Soekarno DIYAKINKAN DAN PERCAYA, bahwa persekutuan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai kabar angin, bekerjsama ADA dengan planning untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan kabinetnya.

Dengan tipu tipu muslihat ini, yang bekerjsama suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan usahanya supaya agresi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 sanggup dihalangi! Makara kini timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal.

Untuk saya, pada ketika ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia sanggup meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang masih ada.

Tentu simpel menyangka bahwa planning itu tercipta dikalangan militer dan bahwa Kamaruzzaman- Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, menyerupai BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk logika dan saling bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono.

Juga ada kesaksian bahwa yang bekerjsama memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu nalisa penting perihal kejadian 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia" pada tahun 1979.

Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bab dari seluruh provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro. Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme.

Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang bekerjsama yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan kini guru besar di Universitas California, menulis beberapa karangan penting perihal campurtangan A.S. dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di "Pacific Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam bahasa Bel anda yang diterbitkan oleh Indonesia Media).

Dalam tahun 1990 ini spesialis sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah semenjak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; dia dengar ini dari tokoh CIA - masa sanggup dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan niscaya bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat campur tangan, contohnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli bila korbannya juga akan dibunuh! Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari andal sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua materi dari ked utaan A.S. di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan dihentikan diselidiki oleh siapapun juga.

Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia menyampaikan bahwa ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 hingga 1968 yang ditutup dengan diam-diam yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan mengakibatkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat diam-diam yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang kini akan dijalankan oleh Congress di Washington perihal daftar yang dibentuk setelah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi perihal periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan 'de-classified' , jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh andal sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk mendapatkan pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan digunakan oleh cowok Islam (ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. oke akan mengirim barang-barang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan A.S . ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan 11/11-65.

Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA tubuh A.S. masih ada tubuh intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: contohnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam kontradiksi antara Indonesia dan negeri gres yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto dan sanggup mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak menerima manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk mengusut sejarah kejadian tahun 1965?

Saya akan baca pendapat saya yang gres ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana diam-diam sanggup berlindung, Magusig O. Bungai menulis perihal pembunuhan massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup diam-diam 15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka bunyi menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong bawah umur negerinya supaya mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula diam-diam itu sangat membantu rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya kasus masakre di Indonesia 25 tahun yang kemudian agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia. Kelainannya ialah oleh alasannya masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia.

Si penanggungjawab ini justru terus-menerus besar hati akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan setelah 1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi insan yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan besar hati tindakannya yang berandal itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.

Dengan adanya pengukuhan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang bersahabat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia supaya mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap kejadian yang terjadi 25 tahun yang kemudian itu.

Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali tidak perlu mendapatkan daftar tersebut dari pihak asing, oleh alasannya mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak memperlihatkan tanda, bahwa ia meratapi terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta.

Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak sanggup membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa sanggup menyiar- kan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggung- jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi setelah Jasir Hadibroto mendapatkan perintah dari Soeharto yang, berdasarkan Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!".

Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Sejarah kejadian 1965 dan lanjutannya, menyerupai yang tertera didalam goresan pena resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya perihal pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan- akan mereka dibunuh alasannya "terlibat dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam kejadian 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam kejadian penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 ketika itu di Jakarta? Dari informasi "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa semenjak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI.

Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya ialah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ' terlibat dalam kejadian G30S-PKI '. Dalih demikian pulalah yang digunakan pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa investigasi pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih.

Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak eksklusif dalam Gestapu/PKI' . Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG ialah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah kejadian 1 Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan.

Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di tempat pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang proteksi untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat proteksi ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu.

Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan.

Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '.

Jelas, bahwa pengadilan tidak sanggup menunjukan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun kemudian dituduh sebagai 'subversi', yang semenjak 1963 juga sanggup mengakibatkan jatuhnya sanksi mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi sanksi mati, semata-mata alasannya mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti terperinci oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.

Tokoh-tokoh menyerupai Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dihukum dalam tahun 1985. Tapi pada ketika inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari kejadian Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar supaya berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti kembali persoalan Gerwani di dalam kejadian 1 Oktober 1965.

Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk melaksanakan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa jenderal- jenderal itu, melaksanakan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bab dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderal- jenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai jawaban dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan, seperti Gerwani ialah perkumpulan wanita lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan.

Cerita-cerita demikian bekerjsama tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian sanggup dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, berdasarkan Sudisman 'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', berjulukan Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, ialah soerang wanita bayaran belaka.

Beberapa tahun yang kemudian Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia", memuat keterangan resmi dari lima dokter yang menilik mayat-mayat para jenderal itu setelah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar ketika itu, yang antara lain menyampaikan bahwa mata para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu.

Terutama sangat perlu, oleh alasannya sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, semenjak Orde Baru berkuasa semua usaha untuk kepentingan wanita melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada 'perbuatan Gerwani' dalam selesai taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari semenjak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan dingklik listrik) daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan setelah PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di selesai 1965 itu.

Tidak selembar daftar menyerupai itu sanggup dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah, setelah adanya pengukuhan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini menyerupai dongeng perihal maling yang teriak "Tangkap Maling!"

Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh alasannya banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat kini timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi.

Kesimpulan menyerupai ini salah sama sekali! Yang gagal ialah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh banyak sekali partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem absolut tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak sanggup bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia, kegagalan menyerupai itu hanya sanggup berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka.

Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam menghadapi keadaan gres dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melaksanakan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu, yaitu supaya 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan besar hati diri.

 
sumber: /search?q=desa-horor-di-jepang

Comments

Popular posts from this blog

Mencengangkan!! Misteri Black Hole Lubang Hitam Yang Belum Terpecahkan

Sebagian besar dari sahabat AnehdiDunia.com niscaya sudah pernah mendengar mengenai misteri keberadaan lubang hitam. Di mana lubang hitam merupakan sebuah fenomena luar angkasa yang hingga detik ini masih mengakibatkan banyak teori serta mengakibatkan banyak perdebatan di antara para ahli. Menurut penelitian banyak jago di dunia, lubang hitam yang sering disebut juga dengan istilah Black Hole ini yaitu sebuah tanda-tanda dari fenomena jagad raya, di mana lubang hitam ini diyakini mempunyai gaya gravitasi yang kekuatannya sangatlah dahsyat, bahkan berdasarkan pengamatan para jago astronomi menyampaikan bahwa seberkas cahaya sekalipun tidak akan bisa lolos dari dekapan sang lubang hitam ini. Teori realtivitas yang dikemukakan oleh Albert Einstein dan penerus-penerus dia juga memprediksi bawasanya akan membutuhkan massa yang amat sangat besar apabila insan hendak berniat membuat sebuah lubang hitam buatan atau lubang hitam tiruan. Perlu anda ketahui juga, bahwa di sekitaran luban

Mencengangkan!! Bintang Hollywood Yang Pernah Hidup Sebagai Gelandangan

Para Bintang yang hidup di Hollywood sering di identikan dengan kehidupan glamor dan daerah tinggal kolam istana yang merupakan citra positif dari kenikmatan dunia tertinggi yang bisa di raih seseorang. Namun tak semua Bintang Hollywood yang kini bisa meraih pendapatan hingga jutaan Dollar dalam satu kali peranya dalam sebuah film ini, meniti karir mereka dengan cara yang gampang, ataupun terlahir dari keluarga yang berada, hingga bisa mendukung perjalan karir mereka, kadang para bintang ini juga muncul dari kalangan biasa bahkan bisa dibilang kekurangan, beberapa diantaranya bahkan pernah mencicipi hidup susah sebab terlahir dalam himpitan kemiskinan hingga menciptakan mereka terpaksa hidup menggelandang. Tapi sebab kerja keras, semangat pantang mengalah dan juga sedikit keberuntungan mereka jadinya berhasil menapaki tangga ketenaran sebagai bintang yang bersinar di Hollywood dan merubah nasib mereka 180 derajat pada sisi roda kehidupan yang berbeda, dari masa dimana mereka dulu bahk

Mencengangkan!! Simak Sejarah Unik Munculnya Boneka Ventriloquist

Bagi sahabat anehdidunia.com yang belum mengetahui apa itu boneka Ventriloquist, boneka ini merupakan boneka yang di pakai dalam dunia hiburan panggung, yaitu dengan cara menggerakkan bab bibirnya serta matanya secara manual, lalu sang penggagas itu akan mengeluarkan suara  buatan guna menciptakan si boneka solah-olah hidup dan mempunyai perasaan. Dikisahkan, awalnya Ventriloquisme atau juga disebut dengan Ventriloquism ini merupakan seni berbicara dengan tanpa harus  menggerakkan ekspresi atau bibir. Ventriloquis berasal dari serapan kata bahasa Latin, yaitu “venter”, yang artinya yaitu perut, serta “loqui” yang artinya yaitu berbicara. Ventriloquisme ini sering juga banyak diartikan sebagai sebuah ilmu ataupun keterampilan dalam berbicara memakai perut. Bahkan dalam perkembangan dunia Ventriloquisme ini, ada beberapa orang mahir Ventriloquis yang bisa bersuara perut yang seakan-akan si boneka berada di kawasan yang jauh atau di ruangan yang lainnya. Dalam pemaknaan di bahasa Indones